HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Fiqh III
Dosen Pengampu : Mohammad Fateh,
M.Ag

Disusun oleh:
1.
A. Bahrul Ulum (
2021213006 )
KELAS L (RE)
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
TAHUN AJARAN
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu
pergaulan hidup.Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu
dimulai dengan adanya sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala kehidupan
umat manusia akan terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan.
Hidup bersama
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan
inilah yang disebutdengan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedemikian luhurnya anggapan tentang suatu perkawinan menyebabkan
terlibatnya seluruh kerabat dan bahkan
seluruh anggota masyarakat itu yang memberi petuah dan nasehat serta
pengharapan agar dapat dilihat dalam kenyataan bahwa dalam kehidupan
masyarakat. Sikap saling percaya dan saling menghargai satu sama
lain merupakan syarat mutlak untuk bertahannya
sebuah perkawinan. Suami istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya
secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan.
B.
Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut,
agar dalam makalah ini bisa diperoleh hasil yang diinginkan
maka kami mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan hukum perkawinan?
2.
Bagaimana hukum perkawinan di Indonesia, antara lain;
(a). Hukum perkawinan pra kemerdekaan (b). Hukum perkawinan pasca kolonial dan
sebelum UU No. 1/1974 (c) Hukum perkawinan menurut perundang-undangan , hukum
adat, dan hukum agama?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum,
sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang sah adalah menimbulkan
akibat hukum, berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak suami istri atau
juga pihak lain dengan siapa salah satu puhak atau kedua-duanya atau suami
istri mengadakan hubungan.
Dengan demikian perkawinan itu merupakan salah
satu perbuatan hukum dalam masyarakat, yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang oleh hukum diberikanakibat-akibat. Adanya akibat
hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu, sehingga suatu perkawinan yang menurut hukum
dianggap tidak sah umpamanya anak yang lahir di luar pernikahan, maka
anak yang dilahirkan itu akan merupakan anak yang tidak sah.
B.
Hukum
Perkawinan Pra Kemerdekaan
Pada masa penjajahan Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus
untuk menanggapi perkara perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam
dalam renah perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika
berperkara di pengadilan agama, namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab
fikih klasik atau ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh ulama tertentu
pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa hukum Islam berlaku
bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi kewenangan khusus kepada para
ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri.
Namun, bukan berarti pada masa ini tidak ada undang-undang perkawinan yang
berlaku, pemerintahan hindia belanda menggunakan Compendium Freijer
dalam aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini
ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh pengadilan Persatuan
Kompeni Belanda di Hindia Timur (VOC), atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C
Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek.
Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di Semarang tahun
1750 dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga oleh VOC
diberlakukan Compendium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk surat VOC
pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus dibiarkan sendiri
mengurus perkara perkawinan dan warisan.
Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800) hukum Islam
dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apapun dari
VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu compendium yang memuat hukum perkawinan
dan hukum kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam.[1]
C.
Hukum
Perkawinan Pasca Kolonial dan Sebelum UU
No. 1/1974
Hukum Perkawinan yang dipakai Umat Islam pada
masa awal kemerdekaan adalah:
1.
Undang-Undang Nomor.
22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Undang-undang Nomor. 22 tahun 1946 tentang
pencatatan nikah,talaq dan rujuk ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia
pada tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7 pasal, yang isi ringkasnya
sebagai berikut:
Ø Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya diantaranya; Nikah yang dilakukan
umat Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh menteri agama, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, yang berhak
mengadakan pengawasan Nikah, Talak dan Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri
Agama, bila PPN berhalangan dilakukan petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak
dan Rujuk ditetapkan Menteri Agama.
Ø Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN membuat
catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan catatan kepada yang
berkepentingan.
Ø Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sangsi orang yang melakukan
nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan PPN, sangsi orang yang
melakukan Nikah, Talak dan Rujuk padahal bukan petugas.
Ø Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai
pelanggaran.
Ø Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan undang-undang
ditetapkan oleh Menteri agama.
Ø Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan berlaku untuk daerah
luar jawa dan madura.
Ø Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk jawa dan madura.
2. Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya
Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946
Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujukan di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 disahkan pada
tanggal 26 Oktober 1954 oleh Presiden Soekarno. Terdiri dari 3 pasal.
Ø Pasal 1, Undang-Undang RI tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar
jawa dan Madura.
Ø Pasal 1 A, Perkataan Biskal- gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam
pasal 3 ayat 5 UU RI NO. 22 Tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan
Negeri.
Ø Pasal 2, Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang
tersebut dalam pasal 1 undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.
3.
Hukum perkawinan yang berlaku secara positif di RI
sebelum keluarnya UU No. 1 Tahun 1974 yang dengan sendirinya menjadi sumber
bagi UU Perkawinan adalah sebagaaimana dijelaskan dalam penjelasan UU tersebut,
yaitu:
Ø Hukum Agama;
Ø Hukum Adat;
Ø Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, berlaku untuk orang Timur Asing China, orang
Eropa, dan warga negara Indonesia keturunan Eropa;
Ø Huwelijksordonantie
Christen Indonesia, yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama
Kristen.
Adanya keinginan untuk menciptakan hukum yang bersifat unifikasi di satu
sisi dan kenyataan kesadaran hukum masyarakat yang telah diwarnai oleh agama
yang berbeda yang dituntut untuk diikuti dalam pembinaan hukum disisi lain,
maka sifat dari UU Perkawinan itu tidak dapat dihindarkan harus unifikasi yang
bervariasi.[2]
D.
Hukum
Perkawinan Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama
1. Hukum Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Di Indonesia
ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara
Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari
perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 3 Tahun2006.
Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di
lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991tentang Kompilasi Hukum Islam. Yang dimaksud
dengan Undang-Undang Perkawinan adalah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dan dijadikan petunjuk dalam hal
perkawinan dan dijadikan pedoman
hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan, baik secara resmi
dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan negara atau tidak.
Menarik untuk dicatat dengan
disahkannya UU Perkawinan No. 1/1974, hukum Islam memasuki fase baru dengan apa
yang disebut fase taqnin (fase
pengundangan). Banyak sekali ketentuan-ketentuan fiqih Islam tentang perkawinan
ditransformasikan ke dalam UU tersebut kendati dengan modifikasi di sana-sini.
2. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum adat ini,
yaitu yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang tidak beragama Islam atau
Kristen berlaku Hukum adat masing-masing lingkaran adat dan bagi orang timur
asing lainnya berlaku Hukum Adatnya.
3. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Agama
Pada khususnya, Hukum Agama dalam
hal ini, adalah hukum perkawinan Islam atau fiqih munakahat, yang berlaku bagi
orang Indonesia asli yang beragama Islam dan warga timur asing yang beragama
Islam.[3]
Menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen,
samskara), yaitu suatu perikatan dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran
Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta
berkerabat tetangga berjalan baik.
Daftar
Pustaka
Nuruddin, Amiur. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media
[1] Amiur
Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.9.
[2] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:
Prenada Media, 2006), h.23-24.
[3]
Amir Syarifuddin, op.cit, h. 23.