Senin, 23 Februari 2015

Hukum Perkawinan di Indonesia



HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah  Fiqh III
Dosen Pengampu : Mohammad Fateh, M.Ag



Disusun oleh:
1.      A. Bahrul Ulum         ( 2021213006 )





KELAS L (RE)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM






SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar belakang
Sejak dilahirkan ke dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup.Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala kehidupan umat manusia akan terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebutdengan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedemikian luhurnya anggapan tentang suatu perkawinan menyebabkan terlibatnya seluruh kerabat dan bahkan seluruh anggota masyarakat itu yang memberi petuah dan nasehat serta pengharapan agar dapat dilihat dalam kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat. Sikap saling percaya dan saling menghargai satu sama lain merupakan syarat mutlak untuk bertahannya sebuah perkawinan. Suami istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang agar tidak muncul masalah dalam perkawinan.

B.    Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, agar dalam makalah ini bisa diperoleh hasil yang diinginkan maka kami mengemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan hukum perkawinan?
2.      Bagaimana hukum perkawinan di Indonesia, antara lain; (a). Hukum perkawinan pra kemerdekaan (b). Hukum perkawinan pasca kolonial dan sebelum UU No. 1/1974 (c) Hukum perkawinan menurut perundang-undangan , hukum adat, dan hukum agama?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang sah adalah menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak suami istri atau juga pihak lain dengan siapa salah satu puhak atau kedua-duanya atau suami istri mengadakan hubungan.
Dengan demikian perkawinan itu merupakan salah satu perbuatan hukum dalam masyarakat, yaitu peristiwa kemasyarakatan yang oleh hukum diberikanakibat-akibat.  Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu, sehingga suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya anak yang lahir di luar pernikahan, maka anak yang dilahirkan itu akan merupakan anak yang tidak sah.

B.     Hukum Perkawinan Pra Kemerdekaan
Pada masa penjajahan Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk menanggapi perkara perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam dalam renah perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara di pengadilan agama, namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih klasik  atau ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan di atas bahwa hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi kewenangan khusus kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri. Namun, bukan berarti pada masa ini tidak ada undang-undang perkawinan yang berlaku, pemerintahan hindia belanda menggunakan Compendium Freijer dalam aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (VOC), atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga oleh VOC diberlakukan Compendium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk surat VOC pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus dibiarkan sendiri mengurus perkara perkawinan dan warisan.
Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia (1602-1800) hukum Islam dapat berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku di kalangan umat Islam.[1]
C.    Hukum Perkawinan Pasca Kolonial dan Sebelum  UU No. 1/1974
Hukum Perkawinan yang dipakai Umat Islam pada masa awal kemerdekaan adalah:
1.      Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Undang-undang Nomor. 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah,talaq dan rujuk ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Nopember 1946, yang terdiri dari 7 pasal, yang isi ringkasnya sebagai berikut:
Ø  Pasal 1 ayat 1 s/d ayat 6, yang isinya diantaranya; Nikah yang dilakukan umat Islam diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh menteri agama, Talak dan Rujuk diberitahukan kepada Pegawai pencatat Nikah, yang berhak mengadakan pengawasan Nikah, Talak dan Rujuk Pegawai yang ditunjuk Menteri Agama, bila PPN berhalangan dilakukan petugas yang ditunjuk, biaya Nikah, Talak dan Rujuk ditetapkan Menteri Agama.
Ø  Pasal 2 terdiri dari ayat 1 s/d 3, yang isinya diantaranya, PPN membuat catatan Nikah, Talaq dan Rujuk dan memberikan petikan catatan kepada yang berkepentingan.
Ø  Pasal 3 terdiri dari5 ayat, isinya antaranya; sangsi orang yang melakukan nikah, talak dan rujuk yang tidak dibawah Pengawasan PPN, sangsi orang yang melakukan Nikah, Talak dan Rujuk padahal bukan petugas.
Ø  Pasal 4, isinya hal-hal yang boleh dihukum pada pasal 3 dipandang sebagai pelanggaran.
Ø  Pasal 5 isinya peraturan yang perlu untuk menjalankan undang-undang ditetapkan oleh Menteri agama.
Ø  Pasal 6 terdiri 2 ayat, isinya nama undang-undang, dan berlaku untuk daerah luar jawa dan madura.
Ø  Pasal 7, isinya undang yang berlaku untuk jawa dan madura.

2. Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 Tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 Tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujukan di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.
Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 1954 disahkan pada tanggal 26 Oktober 1954 oleh Presiden Soekarno. Terdiri dari 3 pasal.
Ø  Pasal 1, Undang-Undang RI tanggal 21 Nopember 1946 No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk berlaku untuk seluruh daerah luar jawa dan Madura.
Ø  Pasal 1 A, Perkataan Biskal- gripir hakim kepolisian yang tersebut dalam pasal 3 ayat 5 UU RI NO. 22 Tahun 1946 diubah menjadi Panitera Pengadilan Negeri.
Ø  Pasal 2, Peraturan-peraturan yang perlu untuk melaksanakan apa yang tersebut dalam pasal 1 undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Agama.
3.      Hukum perkawinan yang berlaku secara positif di RI sebelum keluarnya UU No. 1 Tahun 1974 yang dengan sendirinya menjadi sumber bagi UU Perkawinan adalah sebagaaimana dijelaskan dalam penjelasan UU tersebut, yaitu:
Ø  Hukum Agama;
Ø  Hukum Adat;
Ø  Kitab Undang-undang Hukum Perdata, berlaku untuk orang Timur Asing China, orang Eropa, dan warga negara Indonesia keturunan Eropa;
Ø  Huwelijksordonantie Christen Indonesia, yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen.

Adanya keinginan untuk menciptakan hukum yang bersifat unifikasi di satu sisi dan kenyataan kesadaran hukum masyarakat yang telah diwarnai oleh agama yang berbeda yang dituntut untuk diikuti dalam pembinaan hukum disisi lain, maka sifat dari UU Perkawinan itu tidak dapat dihindarkan harus unifikasi yang bervariasi.[2]
  
D.    Hukum Perkawinan Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama
1.      Hukum Perkawinan Menurut Perundang-undangan
Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur  dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil  dari  perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Undang-undang Nomor 3 Tahun2006. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991tentang Kompilasi Hukum Islam. Yang dimaksud dengan Undang-Undang Perkawinan adalah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat dan dijadikan petunjuk dalam hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan, baik secara resmi dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan negara atau tidak.
Menarik untuk dicatat dengan disahkannya UU Perkawinan No. 1/1974, hukum Islam memasuki fase baru dengan apa yang disebut fase taqnin (fase pengundangan). Banyak sekali ketentuan-ketentuan fiqih Islam tentang perkawinan ditransformasikan ke dalam UU tersebut kendati dengan modifikasi di sana-sini.
2.      Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum adat ini, yaitu yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang tidak beragama Islam atau Kristen berlaku Hukum adat masing-masing lingkaran adat dan bagi orang timur asing lainnya berlaku Hukum Adatnya.

3.      Hukum Perkawinan Menurut Hukum Agama
Pada khususnya, Hukum Agama dalam hal ini, adalah hukum perkawinan Islam atau fiqih munakahat, yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam dan warga timur asing yang beragama Islam.[3]
Menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik.








Daftar Pustaka

Nuruddin, Amiur. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media



[1] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.9.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h.23-24.
[3] Amir Syarifuddin, op.cit, h. 23.

Jumat, 24 Oktober 2014

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR



MAKALAH
AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
                                                             Disusun untuk memenuhi tugas
                                 Mata Kuliah             : Tafsir Tarbawi
              Dosen Pengampu     : Muhammad Hasan Bisyri, M.Ag.
                                         index.jpeg

Disusun oleh:

                                                        A. BAHRUL ULUM   (2021213006)

Kelas  L
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penyusun panjatkan kehadirat ALLAH SWT. karena dengan rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR”. Salawat beserta salam penyusun sampaikan kepada reformator dunia yaitu Baginda Rasulullah SAW yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman, kecintaannya kepada umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri.
Ucapan terimakasih yang tidak terhingga penyusun sampaikan kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan makalah ini moga beliau selalu dalam lindungan ALLAH SWT.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.


                                                                            Pekalongan, 29 September 2014
    Penulis




PENDAHULUAN
Agama Islam adalah agama yang sangat memperhatikan penegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan pilar dasar dari pilar-pilar akhlak yang mulia lagi agung. Kewajiban menegakkan kedua hal itu adalah merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar bagi siapa saja yang mempunyai kekuatan dan kemampuan melakukannya. Sesungguhnya diantara  peran-peran terpenting dan sebaik-baiknya amalan yang mendekatkan diri kepada ALLAH SWT., adalah saling menasehati, mengarahkan kepada kebaikan, nasehat-menasehat  dalam kebenaran dan kesabaran. At-Tahdzir (memberikan peringatan) terhadap yang bertentangan dengan hal tersebut, dan segala yang dapat menimbulkan kemurkaan ALLAH SWT., serta yang menjauhkan dari rahmat-Nya. Perkara al-amru bil ma’ruf wan nahyu anil munkar (menyuruh berbuat yang ma’ruf dan melarang yang kemungkaran) menempati kedudukan yang agung. Dimana para ulama menganggapnya sebagai rukun keenam dari rukun islam.












PEMBAHASAN
AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

الذين ان مكنهم في الارض اقا موالصلوة وءاتواالزكوة وأمروا باالمعروف ونهوا عن المنكر  ولله عقبةالامور
Artinya:
            “Orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dari perbuatan yang munkar, dan kepada AlLLAH SWT. lah kembali segala urusan (surat Al-Hajj: 41)”.[1]
SEBAB AN-NUZUL
             Menurut Abu al-aliyah, orang yang disebutkan  dalam ayat ini adalah para sahabat Muhammad SAW. Ibnu abi Hatim meriwayatkan dari usman bin affan, dia berkata, ”mengenai kamilah ayat,’ orang-orang yang kami teguhkan kedudukan mereka dimuka bumi ini diturunkan. Kami diusir dari kampung halaman kami sendiri  tanpa alasan yang benar, kecuali karena kami mengatakan bahwa tuhan kami adalah LLAH SWT. kemudian kami teguhkan dibumi, lalu kami mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar. Kepunyan ALLAH SWT lah kesudahan segala perkara. Jadi ayat ini diturunkan berkenaan dengan aku dan para sahabatku.[2]



MAKNA MUFRADAT
مكّنّهم                      : Kami meneguhkan mereka  
اقام الصلوة               : Mendirikan sholat
وءا تواالزكوة            : Menunaikan zakat
وامروابالمعروف       : Menyuruh berbuat yang ma’ruf
ونهواعن المنكر        : Mencegah dari perbuatan yang munkar
TAFSIR
            Yaitu : orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka dimuka bumi...”
Kemudian kami wujudkan kemenangan atas mereka, dan kami kukuhkan urusan mereka,
            “...Niscaya mereka mendirikan sholat,...”
Maka, mereka pun melakukan ibadah dan menguatkan hubungannya dengan ALLAH SWT. serta mereka mengarahkan diri mereka kepada-Nya dengan ketaatan, ketundukan, dan penyerahan total.
            “,,,Menunaikan zakat,,,”
Mereka menunaikan kewajiban harta yang dibebankan kepada mereka. Mereka dapat menguasai sifat bakhil mereka. Mereka menyucikan diri dari sifat tamak. Mereka berhasil menghalau godaan dan bisikan setan. Mereka menambal kelemahan-kelemahan jamaah, dan mereka menjamin kehidupan para dhuafa dan orang-orang yang membutuhkan. Sesungguhnya mereka benar-benar mewujudkan tubuh jamaah yang hidup.
            “...Menyuruh berbuat yang ma’ruf...”
Mereka menyeru kepada kebaikan dan maslahat serta mendorong manusia untuk melakukannya. Maka timbulah berbagai anjuran agar sama-sama berbuat yang ma’ruf. Artinya yang ma’ruf ialah anjuran-anjuran atau perbuatan yang diterima baik dan disambut dengan segala senang hati oleh masyarakat ramai. Al-ma’ruf adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat selama sejalan dengan al-khair (kebaikan).
“...Dan mencegah dari perbuatan yang mungkar..”
Mereka menentang serta melawan kemungkaran dan kerusakan. Dengan sifat ini dan sifat sebelumnya, mereka mewujudkan umat islam yang tidak betah terhadap kemungkaran sementara mereka mampu untuk mengubahnya. Mereka pun tidak duduk berpangku tangan dari kebaikan ketika mereka mampu mewujudkan dan merealisasikannya. Al-munkar, maka ia adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahi.
Mereka itulah orang-orang yang menolong ALLAH SWT., karena mereka menolong manhajnya yang dikehendaki ALLAH SWT. bagi manusia dalam kehidupan ini. Mereka hanya berbangga dengan ALLAH SWT. semata-mata dan tidak dengan selain-Nya. Mereka itulah orang-orang yang dijanjikan oleh ALLAH SWT akan ditolong dan dimenangkan dengan janji yang pasti terwujud.
            Jadi, pertolongan dan kemenangan itu berdiri diatas sebab-sebab dan tuntutan-tuntutannya, yang disyaratkan dengan beban-bebannya. Kemudian segala urusan dibawah kendali ALLAH SWT. Dia mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan kehendak-Nya , Dia bisa mengubah kekalahan menjadi kemenangan, dan kemenangan menjadi kekalahan ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan, atau ada beban-beban taklif yang tidak dihiraukan.
            “....Dan kapada ALLAH SWT. lah kembali segala urusan...”
Sesungguhnya kemenangan itu adalah kemenangan yang menyebabkan manhaj ilahi diwujudkan dalam kehidupan ini. Yaitu, dominannya kebenaran, keadilan, dan kebebasan yang mengarah kepada kebaikan dan mashlahat. Itulah tujuan yang membuat segala orientasi individu, golongan, ambisi, dan syahwat harus mundur.
            Sesungguhnya kemenangan seperti itu harus melewati sebab-sebab, harga-harga, beban-beban, dan syarat-syarat. Sehingga, kemenangan itu tidak mugkin diberikan kepada seseorang dengan percuma atau karena basa basi. Dan kemenangan itu pun tidak akan bertahan lama ditangan seseorang yang tidak merealisasikan tujuan dan tuntutannya.[3]
           
            Maka dengan terbiasanya masyarakat dapat anjuran yang ma’ruf,perasaanya akan lebih halus dalam menolak yang munkar, lantaran itu maka amar ma’ruf nahi munkar hendaklah seimbang, atau dengan sendirinya timbul keseimbangan diantara keduanya. Karena keduanya jadi hidup subur sebab dipupuk oleh iman kepada ALLAH SWT. ini dijelaskan dalam ayat lain yaitu pada ayat 110 dari surat Ali-Imran.
Kamu adalah yang sebaik-baik umat dikeluarkan untuk manusia. Karena kamu menyuruh berbuat yang ma’ruf dan kamu mencegah dari yang munkar dan kamu beriman kepada ALLAH SWT.
            Sebab itu maka yang jadi dasar yang mengokohkan kedudukan umat itu ialah iman kepada ALLAH SWT. Kalau iman tidak ada lagi, kendurlah amar ma’ruf nahi munkar, bahkan bisa terbalik menjadi “nahi ‘anil ma’ruf amar bil munkar.”
            “Dan kepada ALLAH SWT jualah akibat dari segala urusan.” (ujung ayat 41). Artinya walau bagaimanapun keadaan yang dihadapi, baik ketika lemah yang menghendaki kesabaran, atau menghadapi perjuangan yang amat sengit dengan amat sengit dengan musuh karena mempertahankan ajaran ALLAH SWT. atau seketika kemenangan telah tercapai, sekali-kali jangan lupa, bahwa keputusan terakhir adalah pada ALLAH SWT jua.[4]
            Karena itu nilai-nilai ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sekadar mengajak  yang dicerminkan oleh kata yang mengajak oleh firmanya: “Ajaklah kejalan Tuhan-mu dengan cara yang bijaksana, nasihat (yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan mereka dengan cara yang lebih baik”. (Q.S. An-Nahl:12)
            Adapun al-ma’ruf yang kesepakatan umum masyarakat, ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-munkar seharusnya dicegah. Baik yang memerintahkan maupun yang mencegahnya adalah penguasa maupun bukan.
“Siapapun diantara kamu yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubahnya (menjadikan ma’ruf) dengan tangan atau kekuasaanya, kalau ia tidak mampu (tidak memiliki kekuasaan) maka dengan lidah atau ucapanya, kalau (yang inipun) dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman”. (H.R. Imam Muslim, At-Tirmidji dan Ibnu Majah melalui Abu Said Al-Khudri)[5]
KANDUNGAN HUKUM
            ALLAH SWT. menerangkan orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar itu. Mereka ialah para sahabat Nabi Muhammad SAW. yang kepada mereka ALLAH SWT telah menjanjikan kemenangan. Jika kemenangan telah mereka peroleh, mereka tidak seperti orang-orang musyrik dan orang-orang yang gila kekuasaan tetapi mereka tetap melaksanakan:
1.   Shalat pada setiap waktu yang telah ditentukan sesuai dengan yang diperintahkan ALLAH SWT. Mereka benar-benar telah yakin, bahwa shalat itu tiang agama, merupakan tali penghubung yang langsung antara ALLAH SWT dengan hamba-Nya. Mensucikan jiwa dan raga, mencegah manusia dari perbuatan keji dan perbuatan munkar serta merupakan perwujudan taqwa yang sebenarnya.
2.   Mereka menunaikan zakat. Mereka menyakini bahwa didalam harta sikaya terdapat hak orang-orang fakir dan miskin. Karena itu mereka dalam menunaikan zakat itu bukanlah karena mereka mengasihi orang-orang fakir dan miskin, tetapi semata-mata untuk menyerahkan hak orang fakir dan miskin yang terdapat dalam harta mereka. Jika mereka diangkat sebagai penguasa, mereka berusaha agar hak orang-orang fakir dan miskin itu benar-benar sampai ketangan mereka.
3.   Perintah untuk menyuruh manusia berbuat makruf dan mencegah perbuatan munkar. Mereka mendorong manusia mengerjakan amal saleh, memimpin manusia melalui jalan lurus yang dibentangkan ALLAH SWT. Mereka sangat benci kepada orang-orang yang biasa melanggar larangan-larangan ALLAH SWT.[6]












PENUTUP
KESIMPULAN
          Orang-orang yang menyempurnakan dirinya dengan menghadirkan Tuhan dan menghadapkan diri kepadanya didalam sholat menurut kemampuanya, dan mereka menjadi penolong umat-umat mereka dengan menolong orang-orang fakir dan yang butuh pertolongan diantara mereka . Disamping itu mereka menyempurnakan orang lain dengan memberikan sebagian ilmu dan adabnya serta mencegah berbagai kerusakan yang menghambat orang lain untuk mencapai akhlak dan adab yang luhur.
               
















DAFTAR PUSTAKA


Ar-rifa’i,Muhammad Nasib.2004.” Taisiru al-Aliyyul qadir li ikhtishari Tafsiribnu katsir jilid 3”Jakarta,Gema Insani.
Depertemen Agama RI.2009. ”Al-Qur’an dan Tafsirnya”,Jakarta, Cv Duta Grafika.
Hamka,Prof.Dr,”Tafsir Al-Azhar Juzu’ XVII”,Jakarta,Pustaka Panji Mas Jakarta.
Shihab,M.Quraish.2006.”Tafsir al-misbah”,Jakarta,Lentera Hati.
Syaikh Imam,Al-Qurthubi.2009.”Tafsir Al-Qurtubi/Syaikh Imam Al-qurtubi”,Jakarta,Pustaka Azzam.
Quthb,Sayyid.2004.” Fi Zhilail Qur’a”,Jakarta,Gema Insani





 



[1] Al-qurthubi,Syaikh imam,”Tafsir Al-Qurtubi/Syaikh Imam Al-qurtubi”(Jakarta:Pustaka Azzam,2009)hal:180
[2] Muhamad  Nasib Ar-rifa’i, Taisiru al-Aliyyul qadir li ikhtishari Tafsiribnu katsir jilid,3 (jakarta: Gema Insani,2004) hlm.379
[3] Sayyid Quthb”Fi Zhilail Qur’an”(Jakarta:Gema Insani,2004)hal: 127

[4] Prof.Dr.Hamka,”Tafsir Al-Azhar Juzu’ XVII”(Jakarta:Pustaka Panji Mas Jakarta) hal:178-179
[5] Shihab,M.Quraish,”Tafsir Al-Misbah”(Jakarta:Lentera Hati,2006) hal:74-75
[6] Depertemen Agama RI,”Al-Qur’an dan Tafsirnya”(Jakarta:CV Duta Grafika,2009) hal 418-419