Jumat, 24 Oktober 2014

NASHIRUDDIN ATH-THUSI



NASHIRUDDIN ATH-THUSI
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dwi Istiyani, M.Ag


STAIN LOGO


Disusun Oleh:

A. Bahrul Ulum           (2021213006)


KELAS L
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
PEMBAHASAN
NASHIRUDDIN ATH-THUSI

A.    Biografi
Thusi, nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad al-Hasan Nashir al-Din al-Thusi al-Muhaqqiq. Lahir pada 18 Pebruari 1201 M/597 H di Thus, sebuah kota di Khurasan, tempat ia menerima pendidikannya yang pertama dari Muhammad ibn Hasan. Gurunya yang lain adalah Mahdar Farid al-Din Damad dalam bidang fiqih, ushul, hikmah, dan ilmu kalam, Muhammad Hasib dalam bidang Matematika di Naishapur. Kemudian ia pergi ke Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutb al-Din dan matematika pada Kamalal-Din ibn Yunus, sedangkan fiqih dan ushul pada Salim ibn Badran. Kemasyhurannya sebagai sarjana berpengetahuan luas tersiar ke berbagai wilayah Persia, lalu ia diculik oleh Nashir al-Din Abd al-Rahman ibn Ali Mansur, Gubernur kaum Ismaili di Kohistan, yang mengutusnya ke Alamut. Thusi berada di Alamut sampai ditaklukan Hulagu.[1]
Ketika Alamut ditaklukkan Hulaghu Khan pada 1256, pemimpin bala tentara suku bangsa Mongol itu membebaskannya dari tempat itu. Hulaggu Khan, sang penakluk, segera terkesan oleh kefasihan dan kecerdasannya yang istimewa. Oleh karena itulah, ia kemudian diangkat menjadi penasihatnya. Pada Pebruari 1258, ketika Baghdad menyerah kepada tentara Mongoldan banyak penduduknya yang dibunuh serta seluruh kota dijarah. Nashiruddin Al-Thusi menjadi dewa penolong bagi sebagian penduduk kaum syiah di selatan Irak, karena dia berhasil mempengaruhi Hulagu untuk tidak memerangi mereka.
Hulagu demikian percaya kepadanya sehingga Nashiruddin Al-Thusi diangkat menjadi wazir Dinasti Ilkhan, Dinasti yang didirikannya. Pada 1259 M, Hulagu Khan memerintahkan Nashiruddin Al-Thusi untuk mendirikan sebuah observatorium di bukit Maraghah. Observatorium yang dipimpin dan diawasi langsung oleh Nashiruddin Al-Thusi ini dilengkapi peralatan canggih untuk ukuran masa itu dan didukung oleh beberapa astronom dan matematikawan terkemuka pula. Disana juga disediakan perpustakaan dan koleksi lebih dari 400.000 buku, yang dikumpulkan pasukan Mongol dari Suriah, Irak, dan Persia. Oleh karena itu, Observatorium ini menjadi observatorium yang sangat terkenal di dunia ketika itu, dengan nama Observatorium Maraghah.[2]
Thusi adalah seorang pemikir Islam terbesar yang mempunyai kemampuan hebat, yang karya ensiklopedinya meliputi hampir semua cabang pengetahuan, termasuk ekonomi, matematika, sains, optik, geografi, obat-obatan, filsafat, logika, musik, mineralogi, teologi dan etika.
Selesai menerima pendidikan di kota kelahirannya, Nashiruddin Al-Thusi berangkat ke Nishapur untuk melengkapi pendidikan formal tingkat lanjutan. Di Nishapur, dalam masa belajar tersebut, ia mendapatkan reputasi sebagai seorang sarjana yang berprestasi tinggi.
Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa arab dan bahasa persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa tersebut. Nashiruddin Al-Thusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya-budaya arab dan budaya persia dengan tingkat penguasaan yang sama. Karya-karya ilmiahnya ditulis dengan warisan para pendahulunya. Kelihaian politiknya dapat mennyelamatkannya pada saat-saat sangat genting yang terjadi di persia pada pertengahan abad ke-13, bahkan ia tetap dapat melakukan kegiatan ilmiahnya. Dia pernah tertangkap oleh Holako, namun dia merayunya dan menarik penghormatan ats dirinya, serta menjaga kewibawaannya. Holako pernah mendengar bahwa Nashiruddin Al-Thusi adalah ahli astronomi dan ilmu perbintangan. Dia bersama-sama Holako, ketika sang penjajah menguasai kota Baghdad, dapat mengambil kesepakatannya untuk membangunkan teropong bintang yang sangat besar di kota Maraghah, Azerbaijan yang saat itu termasuk wilayah Moghul.[3]
B.     Penemuan Nashiruddin Al-Thusi
Ø Dalam bidang matematika
Nashiruddin Al-Thusi berhasil mengembangkan akar berakar seperti yang sebelumnya pernah pertama kali dibahas oleh Al-Khawarizmi, dan ternyata Nashiruddin Al-Thusi berhasil menyelesaikan persamaan angka berakar.
Dia berhasil dalam memisahkan ilmu hitung trigonometri dari ilmu astronomi, serta mengembangkannya sebagai ilmu matematika yang berdiri sendiri.
Nashiruddin Al-Thusi adalah orang yang pertama kali membuat segi tiga bertingkat untuk segi tiga di atas bola dengan sudut yang sama.
Dia menjelaskan dan membuat geometri Euklildes dan menyelesaikan permasalahan-permasalahannya yang jlimet  dengan bukti-bukti yang kuat dan penuh inovasi.

Ø Dalam ilmu astronomi
Al-Thusi meluncurkan kritik-kritik penting terhadap teori Ptolemaeus tentang ilmu astronomi dalam bukunya “Al-Majsithi” yang menyebabkan berubahnya pandangan para ahli astonomi dan berusaha memperbaiki pendapat Ptolemaeus tentang alam dan diberi nama teori “Izdiwaj Ath-Thusi” yang dipergunakan oleh ahli astronomi setelahnya seperti ahli astronomi Belanda, Copernicus, dalam memperbaiki pendapat tentang peredaran sebagian planet.
Al-Thusi adalah orang yang pertama kali membuat teropong dalam bentuk yang benar , dan teropong ini dikenal dengan nama “Asha Ath-Thusi.” Dalam hal itu, Nashiruddin Al-Thusi menulis tesis penting yang selanjutnya diteruskan oleh salah seorang muridnya.
Al-Thusi membuat gedung astronomi terbesar dalam peradaban Islam dan diberi nama “ LaboratoriumMaraghah.”
Ø  Dalam bidang fisika
Nashiruddin Al-Thusi menemukan dalil baru untuk menyamakan dua sudut, yaitu sudut jatuh dan sudut pantul dari cahaya sinar yang jatuh pada permukaan kaca yang datar.
Nashiruddin Al-Thusi dapat menafsirkan tentang fenomena pelangi.
Ø  Dalam pemikiran ilmiah
Nashiruddin Al-Thusi adalah orang yang pertama kali mengajak untuk mengadakan seminar ilmiah sepanjang sejarah hidup manusia. Seminar ini dilaksanakan di LaboratoriumMaraghah, dan diikuti oleh para ahli astronomi terkemuka yang hidup pada masa Ath-thusi.[4]
Dalam bidang astronomi, Nashiruddin Al-Thusi memperoleh kemasyhuran besar, dan telah memberikan sumbangan yang abadi. Kemasyhurannya terutama terletak pada penelitian-penelitian astronominya yang dilakukan di observatorium Maragha. Ia juga menulis sejumlah risalah astronomi, yang terpenting diantaranya adalah “Kitab al-Tazkira fi Ilm al-Hai’a” (Memorian Astronomi), suatu penyelidikan bidang astronomi selengkapnya. Buku ini diulas banyak sarjana, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Timur maupun Barat. Kritiknya yang keras terhadap astronomi Ptolemy telah membuka jalan bagi pembaruan Copernicus. Nashiruddin Al-Thusi menulis sejumlah besar risalah astronomi, diantaranya adalah risalah yang berkaitan dengan; astronomi yang terbaik (Zubdat al-Hai’a), lintasan besar dan jarak planet Mercury, bagian-bagian Mutawassit, terbit dan tenggelam, bidang gerak, besar dan jarak matahari dan bulan, kenaikan bintang-bintang, bidang, siang dan malam, tempat tinggal, dan lain-lain.
Sementara karya pentingnya di bidang astronomi yang berhubungan dengan penanggalan adalah (1). “ Mukhtashar fi ilm al-Tanjim wa Ma’rifat al-Taqwim” (Ikhtisar Astrologi dan Penanggalan) yang tersimpan dalam bahasa Persia; dan (2) “Kitab al-Barifi Ulum al-Taqwim wa Harakat al Aflak wa Ahkam al Nujum” (Buku Unggul tentang Al-Manak, Gerak Bintang-Bintang dan Astrologi Kehakiman).
Dalam bidang ilmu-ilmu yang lain, Nashiruddin Al-Thusi melakukan koreksi terhadap karya-karya tulis para ilmuwan pendahulunya yang dikenal bangsa Arab. Selain itu, ia juga membuat terjemahan baru yang sangat bagus atas buku al-majesy yang mengungguli semua terjemahan yang terdahulu. Peneropongannya untuk membuat kalender perbintangan telah dia mulai sejak usia enam puluh tahun, dan selesai dua belas tahun kemudian. Para ahli astronomi yang lain juga ikut serta dalam pembuatan kalender ini. Perhitungannya didasarkan atas posisi matahari di tengah hari di kota Maraghah.
Buku itu dibagi menjadi empat bagian. Pertama, macam-macam cara perhitungan tahun. Kedua, gerakan bintang. Ketiga, pembatasan waktu. Keempat, berbagai macam hitungan perjalanan bintang. Daftar itu pada mulanya dibuat dalam bahasa Persia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan mendapatkan sambutan yang memuaskan para ilmuwan Eropa karena memuat materi yansangat besar dalam bidangnya.[5]

C.    Filsafatnya
Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang, bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca Mongol tersebut. Akan tetapi Nashiruddin Al-Thusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Ia mempelajari filsafat Yunani dan Islam, misalnya lewat karya-karya Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Ia juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fiqih yang sangat berpengaruh di Nishapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang sangat berpengaruh.
Dalam pemikiran agama, Nashiruddin Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran Neoplatonik Ibnu Sina dan Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan bahwa demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai filsuf. Nashiruddin Al-Thusi sendiri berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, namun sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otoritatif, sekaligus filsafat.
Dalam pemikiran politik, Nashiruddin Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide Aristoteles  dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre nasihat kepada raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etiknya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya tersebut membahas persoalan individu, keluarga, serta komunitas kota, provinsi, desa, atau kerajaan.
Nashiruddin Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fiqih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk kepada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imim, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fiqih.[6]

D.    Karyanya
Karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya al-Thusi, sementara Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi menyebutkan sekitar 130 judul. Diantara karya Thusi adalah:
1.      Tentang Logika
a.       Asas al-Iqtibas,
b.      Al-Tajrid fi ‘Ilm al-Mantiq,
c.       Ta’dil al-Mi’yar, dll.
2.      Tentang Metafisika
a.       Risaleh dar Ithbat-i Wajib,
b.      Itsbat-i Jauhar al-Munfariq,
c.       Fushul, dll
3.      Tentang Etika
a.       Akhlaq-i Nasiri,
b.      Ausaf al-Asyraf.
4.      Tentang Teologi
a.       Tajrid al-‘Aqa’id,
b.      Risaleh-i I’tiqadat, dll.
5.      Tentang Astronomi
a.       Kitab al-mutawassitat Bain al-Handasa wal-Hai’a,
b.      Ilkhanian Tables (Penyempurnaan Planetary Tables)
c.       Kitab al-Tazkira fi al-Ilm al-Hai’a,
d.      Dll.
6.      Tentang Aritmatika, Geometri, dan Trigonometri
a.       Al-Mukhtasar bi jami al-Hisab bi al-takht wa al turab (Ikhtisar dari Seluruh Perhitungan dengan Tabel dan Bumi)
b.      Kitab al-Jabr wa al-Muqabala (Risalah tentang Aljabar)
c.       Dll.
7.      Tentang Optik
a.      Tahrir kitab al-Manazir
b.      Mabahis finikas al-Syu’ar wa in Itafiha (Penelitian tentang Refleksi dan Defleksi Sinar-sinar).
8.      Tentang Musik
a.      Kitab fi ilm al-Mausiqi
b.      Kanz al-Tuhaf
9.      Tentang Medikal
Kitab al-Bab Bahiya fi al-Tarakib al-Sultaniya.[7]

E.     Komentar Tentang Ath-Thusi

Ø  Sejarawan, George Sarton, mengatakan, “Ath-Thusi telah menampakkan keunggulannya yang luar biasa dalam mengatasi masalah-masalah paralel dalam ilmu geometri, dan dia membuktikan dengan dalil-dalil yang menunjukkan kecerdasannya.”
Ø  Ilmuwan Fidman, mengatakan, “ Ath-Thusi berusaha untuk membuktikan pendapat Euklides yang kelima dalam bukunya “Ar-Risalah Asy-Syafiyah An Asy-Syakhi Fi Al-Khuthuth Al-Mutawaziyah.” Usahanya berhasil, karena dia membuka dialog dan tidak menerima begitu saja buku Euklides dan semacamnya dari para ilmuwan geometri Yunani.”
Ø  Ilmuwan Irkubil mengatakan, “Buku Ath-Thusi tentang ilmu hitung trigonometri memiliki pengaruh yang besar bagi ilmuwan matematika di Timur dan di Barat, karena di dalamnya terdapat penemuan-penemuan yang membantunya mengembangkan bidang ini dari berbagai bidang dalam ilmu matematika.”[8]


DAFTAR PUSTAKA

Gaudah, Muhammad Gharib. 2007. 147 Ilmuwan Terkemuka dala Sejarah Islam. Jakarta: Al-Kautsar
El-Saha, M. Ishom dan Saiful Hadi. 2004. Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern. Jakarta: CV. Fauzan Inti Kreasi
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari Plato Sampai Ibnu Bajjah. Yogyakarta: IRCiSoD
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Armando, Nina M. 2005. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve


[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hlm.129.
[2] Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), hlm. 149
[3] M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: CV. Vauzan Inti Kreasi, 2004), hlm. 264-265
[4] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 385-387
[5] M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Profil Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: CV. Vauzan Inti Kreasi, 2004), hlm. 265-267
[6] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 315-316
[7] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hlm.131-133
[8] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 385-387

Tidak ada komentar:

Posting Komentar