NASHIRUDDIN ATH-THUSI
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Dwi Istiyani, M.Ag

Disusun Oleh:
A. Bahrul
Ulum (2021213006)
KELAS L
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
PEMBAHASAN
NASHIRUDDIN ATH-THUSI
A. Biografi
Thusi, nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad al-Hasan
Nashir al-Din al-Thusi al-Muhaqqiq. Lahir pada 18 Pebruari 1201 M/597 H di
Thus, sebuah kota di Khurasan, tempat ia menerima pendidikannya yang pertama
dari Muhammad ibn Hasan. Gurunya yang lain adalah Mahdar Farid al-Din Damad
dalam bidang fiqih, ushul, hikmah, dan ilmu kalam, Muhammad Hasib dalam bidang
Matematika di Naishapur. Kemudian ia pergi ke Baghdad untuk belajar pengobatan
dan filsafat pada Qutb al-Din dan matematika pada Kamalal-Din ibn Yunus,
sedangkan fiqih dan ushul pada Salim ibn Badran. Kemasyhurannya sebagai sarjana
berpengetahuan luas tersiar ke berbagai wilayah Persia, lalu ia diculik oleh
Nashir al-Din Abd al-Rahman ibn Ali Mansur, Gubernur kaum Ismaili di Kohistan,
yang mengutusnya ke Alamut. Thusi berada di Alamut sampai ditaklukan Hulagu.[1]
Ketika Alamut ditaklukkan Hulaghu Khan pada 1256, pemimpin bala tentara
suku bangsa Mongol itu membebaskannya dari tempat itu. Hulaggu Khan, sang
penakluk, segera terkesan oleh kefasihan dan kecerdasannya yang istimewa. Oleh
karena itulah, ia kemudian diangkat menjadi penasihatnya. Pada Pebruari 1258,
ketika Baghdad menyerah kepada tentara Mongoldan banyak penduduknya yang
dibunuh serta seluruh kota dijarah. Nashiruddin Al-Thusi menjadi dewa penolong
bagi sebagian penduduk kaum syiah di selatan Irak, karena dia berhasil
mempengaruhi Hulagu untuk tidak memerangi mereka.
Hulagu demikian percaya kepadanya sehingga Nashiruddin Al-Thusi diangkat
menjadi wazir Dinasti Ilkhan, Dinasti yang didirikannya. Pada 1259 M, Hulagu
Khan memerintahkan Nashiruddin Al-Thusi untuk mendirikan sebuah observatorium
di bukit Maraghah. Observatorium yang dipimpin dan diawasi langsung oleh
Nashiruddin Al-Thusi ini dilengkapi peralatan canggih untuk ukuran masa itu dan
didukung oleh beberapa astronom dan matematikawan terkemuka pula. Disana juga
disediakan perpustakaan dan koleksi lebih dari 400.000 buku, yang dikumpulkan
pasukan Mongol dari Suriah, Irak, dan Persia. Oleh karena itu, Observatorium
ini menjadi observatorium yang sangat terkenal di dunia ketika itu, dengan nama
Observatorium Maraghah.[2]
Thusi adalah seorang pemikir Islam terbesar yang mempunyai kemampuan hebat,
yang karya ensiklopedinya meliputi hampir semua cabang pengetahuan, termasuk
ekonomi, matematika, sains, optik, geografi, obat-obatan, filsafat, logika,
musik, mineralogi, teologi dan etika.
Selesai menerima pendidikan di kota kelahirannya, Nashiruddin Al-Thusi
berangkat ke Nishapur untuk melengkapi pendidikan formal tingkat lanjutan. Di
Nishapur, dalam masa belajar tersebut, ia mendapatkan reputasi sebagai seorang
sarjana yang berprestasi tinggi.
Nashiruddin Al-Thusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa arab dan
bahasa persia. Dia juga menulis dengan dua bahasa tersebut. Nashiruddin
Al-Thusi dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya-budaya
arab dan budaya persia dengan tingkat penguasaan yang sama. Karya-karya
ilmiahnya ditulis dengan warisan para pendahulunya. Kelihaian politiknya dapat
mennyelamatkannya pada saat-saat sangat genting yang terjadi di persia pada
pertengahan abad ke-13, bahkan ia tetap dapat melakukan kegiatan ilmiahnya. Dia
pernah tertangkap oleh Holako, namun dia merayunya dan menarik penghormatan ats
dirinya, serta menjaga kewibawaannya. Holako pernah mendengar bahwa Nashiruddin
Al-Thusi adalah ahli astronomi dan ilmu perbintangan. Dia bersama-sama Holako,
ketika sang penjajah menguasai kota Baghdad, dapat mengambil kesepakatannya
untuk membangunkan teropong bintang yang sangat besar di kota Maraghah,
Azerbaijan yang saat itu termasuk wilayah Moghul.[3]
B. Penemuan
Nashiruddin Al-Thusi
Ø
Dalam bidang matematika
Nashiruddin Al-Thusi berhasil mengembangkan
akar berakar seperti yang sebelumnya pernah pertama kali dibahas oleh
Al-Khawarizmi, dan ternyata Nashiruddin Al-Thusi berhasil menyelesaikan
persamaan angka berakar.
Dia berhasil dalam memisahkan ilmu hitung
trigonometri dari ilmu astronomi, serta mengembangkannya sebagai ilmu
matematika yang berdiri sendiri.
Nashiruddin Al-Thusi adalah orang yang pertama
kali membuat segi tiga bertingkat untuk segi tiga di atas bola dengan sudut
yang sama.
Dia menjelaskan dan membuat geometri Euklildes
dan menyelesaikan permasalahan-permasalahannya yang jlimet dengan bukti-bukti yang kuat dan penuh
inovasi.
Ø
Dalam ilmu astronomi
Al-Thusi meluncurkan kritik-kritik penting terhadap teori Ptolemaeus
tentang ilmu astronomi dalam bukunya “Al-Majsithi” yang menyebabkan
berubahnya pandangan para ahli astonomi dan berusaha memperbaiki pendapat Ptolemaeus
tentang alam dan diberi nama teori “Izdiwaj Ath-Thusi” yang dipergunakan
oleh ahli astronomi setelahnya seperti ahli astronomi Belanda, Copernicus,
dalam memperbaiki pendapat tentang peredaran sebagian planet.
Al-Thusi adalah orang yang pertama kali membuat teropong dalam bentuk yang
benar , dan teropong ini dikenal dengan nama “Asha Ath-Thusi.” Dalam hal
itu, Nashiruddin Al-Thusi menulis tesis penting yang selanjutnya diteruskan
oleh salah seorang muridnya.
Al-Thusi membuat gedung astronomi terbesar dalam peradaban Islam dan diberi
nama “ LaboratoriumMaraghah.”
Ø
Dalam bidang fisika
Nashiruddin Al-Thusi menemukan dalil baru
untuk menyamakan dua sudut, yaitu sudut jatuh dan sudut pantul dari cahaya
sinar yang jatuh pada permukaan kaca yang datar.
Nashiruddin Al-Thusi dapat menafsirkan tentang
fenomena pelangi.
Ø
Dalam pemikiran ilmiah
Nashiruddin Al-Thusi adalah orang yang pertama kali mengajak untuk
mengadakan seminar ilmiah sepanjang sejarah hidup manusia. Seminar ini
dilaksanakan di LaboratoriumMaraghah, dan diikuti oleh para ahli astronomi
terkemuka yang hidup pada masa Ath-thusi.[4]
Dalam bidang astronomi, Nashiruddin Al-Thusi memperoleh kemasyhuran besar,
dan telah memberikan sumbangan yang abadi. Kemasyhurannya terutama terletak
pada penelitian-penelitian astronominya yang dilakukan di observatorium
Maragha. Ia juga menulis sejumlah risalah astronomi, yang terpenting
diantaranya adalah “Kitab al-Tazkira fi Ilm al-Hai’a” (Memorian
Astronomi), suatu penyelidikan bidang astronomi selengkapnya. Buku ini diulas
banyak sarjana, dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Timur maupun Barat.
Kritiknya yang keras terhadap astronomi Ptolemy telah membuka jalan bagi
pembaruan Copernicus. Nashiruddin Al-Thusi menulis sejumlah besar risalah
astronomi, diantaranya adalah risalah yang berkaitan dengan; astronomi yang
terbaik (Zubdat al-Hai’a), lintasan besar dan jarak planet Mercury,
bagian-bagian Mutawassit, terbit dan tenggelam, bidang gerak, besar dan jarak
matahari dan bulan, kenaikan bintang-bintang, bidang, siang dan malam, tempat
tinggal, dan lain-lain.
Sementara karya pentingnya di bidang astronomi yang berhubungan dengan
penanggalan adalah (1). “ Mukhtashar fi ilm al-Tanjim wa Ma’rifat al-Taqwim”
(Ikhtisar Astrologi dan Penanggalan) yang tersimpan dalam bahasa Persia; dan
(2) “Kitab al-Barifi Ulum al-Taqwim wa Harakat al Aflak wa Ahkam al Nujum”
(Buku Unggul tentang Al-Manak, Gerak Bintang-Bintang dan Astrologi Kehakiman).
Dalam bidang ilmu-ilmu yang lain, Nashiruddin Al-Thusi melakukan koreksi
terhadap karya-karya tulis para ilmuwan pendahulunya yang dikenal bangsa Arab.
Selain itu, ia juga membuat terjemahan baru yang sangat bagus atas buku al-majesy
yang mengungguli semua terjemahan yang terdahulu. Peneropongannya untuk
membuat kalender perbintangan telah dia mulai sejak usia enam puluh tahun, dan
selesai dua belas tahun kemudian. Para ahli astronomi yang lain juga ikut serta
dalam pembuatan kalender ini. Perhitungannya didasarkan atas posisi matahari di
tengah hari di kota Maraghah.
Buku itu dibagi menjadi empat bagian. Pertama, macam-macam cara
perhitungan tahun. Kedua, gerakan bintang. Ketiga, pembatasan
waktu. Keempat, berbagai macam hitungan perjalanan bintang. Daftar itu pada
mulanya dibuat dalam bahasa Persia, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan mendapatkan sambutan yang memuaskan para ilmuwan Eropa karena
memuat materi yansangat besar dalam bidangnya.[5]
C. Filsafatnya
Abad 13 adalah
masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik
yang berkembang, bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada
periode pasca Mongol tersebut. Akan tetapi Nashiruddin Al-Thusi, seorang
pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan
pada masanya. Ia mempelajari filsafat Yunani dan Islam, misalnya lewat
karya-karya Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. Ia juga dikenal
ahli dalam bidang teologi dan fiqih yang sangat berpengaruh di Nishapur, sebuah
kota yang menjadi pusat peradaban yang sangat berpengaruh.
Dalam pemikiran
agama, Nashiruddin Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran Neoplatonik Ibnu Sina dan
Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan bahwa demi alasan-alasan taktis, “orang
bijak” (hukuma) bukan sebagai filsuf. Nashiruddin Al-Thusi sendiri
berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, namun sebagaimana
doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otoritatif, sekaligus
filsafat.
Dalam pemikiran
politik, Nashiruddin Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide Aristoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat
dengan genre nasihat kepada raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara
Syiah dan filsafat. Buku etiknya disajikan sebagai sebuah karya filsafat
praktis. Karya tersebut membahas persoalan individu, keluarga, serta komunitas
kota, provinsi, desa, atau kerajaan.
Nashiruddin
Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fiqih berdasarkan pemikiran bahwa
perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan
manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan
kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk kepada kebiasaan komunitas, atau
diajarkan oleh seorang nabi atau imim, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan
pokok bahasan fiqih.[6]
D. Karyanya
Karl
Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya al-Thusi, sementara
Ivanov mengatakan bahwa karya Thusi ada 150 judul, sedangkan Mudarris Ridwi
menyebutkan sekitar 130 judul. Diantara karya Thusi adalah:
1. Tentang Logika
a. Asas al-Iqtibas,
b. Al-Tajrid fi
‘Ilm al-Mantiq,
c. Ta’dil
al-Mi’yar, dll.
2. Tentang Metafisika
a. Risaleh dar
Ithbat-i Wajib,
b. Itsbat-i Jauhar
al-Munfariq,
c. Fushul, dll
3. Tentang Etika
a. Akhlaq-i Nasiri,
b. Ausaf al-Asyraf.
4. Tentang Teologi
a. Tajrid al-‘Aqa’id,
b. Risaleh-i
I’tiqadat, dll.
5. Tentang Astronomi
a. Kitab
al-mutawassitat Bain al-Handasa wal-Hai’a,
b. Ilkhanian
Tables (Penyempurnaan
Planetary Tables)
c. Kitab
al-Tazkira fi al-Ilm al-Hai’a,
d. Dll.
6. Tentang Aritmatika, Geometri, dan Trigonometri
a. Al-Mukhtasar bi
jami al-Hisab bi al-takht wa al turab (Ikhtisar dari Seluruh Perhitungan dengan Tabel dan
Bumi)
b. Kitab al-Jabr
wa al-Muqabala (Risalah tentang Aljabar)
c. Dll.
7. Tentang Optik
a. Tahrir kitab
al-Manazir
b. Mabahis finikas
al-Syu’ar wa in Itafiha (Penelitian tentang Refleksi dan Defleksi Sinar-sinar).
8. Tentang Musik
a. Kitab fi ilm
al-Mausiqi
b. Kanz al-Tuhaf
9. Tentang Medikal
Kitab al-Bab Bahiya fi al-Tarakib al-Sultaniya.[7]
E. Komentar
Tentang Ath-Thusi
Ø Sejarawan, George Sarton, mengatakan,
“Ath-Thusi telah menampakkan keunggulannya yang luar biasa dalam mengatasi
masalah-masalah paralel dalam ilmu geometri, dan dia membuktikan dengan
dalil-dalil yang menunjukkan kecerdasannya.”
Ø Ilmuwan Fidman, mengatakan, “ Ath-Thusi
berusaha untuk membuktikan pendapat Euklides yang kelima dalam bukunya
“Ar-Risalah Asy-Syafiyah An Asy-Syakhi Fi Al-Khuthuth Al-Mutawaziyah.” Usahanya
berhasil, karena dia membuka dialog dan tidak menerima begitu saja buku
Euklides dan semacamnya dari para ilmuwan geometri Yunani.”
Ø Ilmuwan Irkubil mengatakan, “Buku Ath-Thusi
tentang ilmu hitung trigonometri memiliki pengaruh yang besar bagi ilmuwan
matematika di Timur dan di Barat, karena di dalamnya terdapat penemuan-penemuan
yang membantunya mengembangkan bidang ini dari berbagai bidang dalam ilmu
matematika.”[8]
DAFTAR PUSTAKA
Gaudah, Muhammad Gharib. 2007. 147 Ilmuwan
Terkemuka dala Sejarah Islam. Jakarta: Al-Kautsar
El-Saha, M. Ishom dan Saiful Hadi. 2004. Profil
Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern. Jakarta: CV. Fauzan Inti
Kreasi
Murtiningsih, Wahyu. 2012. Para Filsuf dari
Plato Sampai Ibnu Bajjah. Yogyakarta: IRCiSoD
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam.
Jakarta: Gaya Media Pratama
Armando, Nina M. 2005. Ensiklopedi Islam. Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve
[3] M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Profil
Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: CV. Vauzan Inti
Kreasi, 2004), hlm. 264-265
[4] Muhammad
Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, (Jakarta:
Al-Kautsar, 2007), hlm. 385-387
[5] M. Ishom El-Saha dan Saiful Hadi, Profil
Ilmuwan Muslim Perintis Ilmu Pengetahuan Modern, (Jakarta: CV. Vauzan Inti
Kreasi, 2004), hlm. 265-267
[6] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato
sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 315-316
[8] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka
dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm. 385-387
Tidak ada komentar:
Posting Komentar