Rabu, 08 Oktober 2014

Perintah Belajar Mengajar dan Belajar Ilmu Umum



KEWAJIBAN BELAJAR  MENGAJAR
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu: Mohammad Hasan Bisyri, M.Ag
                                 
     Disusun Oleh:
1.     Wahyu Hidayat  (2021213004)
2.     Uni Khomsiatun (2021213005)
3.     A. Bahrul Ulum  (2021213006)

Kelas L Reguler Sore
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2014/2015


A.      PERINTAH MEMBACA DAN BELAJAR MENGAJAR (Al-‘Alaq:1-5)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اِقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَق (۱) خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (۲) اِقْرَأوَرَبُّكَ لْاَكْرَ مُ (۳) اَلَّذِيْ عَلَّمَ بِا لْقَلَمِ (٤)
 عَلَّمَ الْاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Terjemahan Ayat:
(1)“ Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
(2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
(3). Bacalah dan Tuhan-mulah yang paling pemurah.
(4). Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam.
(5). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui-Nya”.

SEBAB NUZUL
Disebutkan dalam hadis-hadis shahih, bahwa nabi saw, mendatangi gua Hira’ (Hira adalah nama sebuah gunung di Makkah) untuk tujuan beribadah beberapa hari. Kembali kepada isterinya Siti Khadijah untuk mengambil bekal secukupnya. Hingga pada suatu hari di dalam gua beliau dikejutkan oleh kedatangan malaikat membawa wahyu Ilahi. Malaikat bertanya kepadanya, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk kedua kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekanya hingga nabi kepayahan, dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya, “Bacalah!” Nabi menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa untuk ketiga kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga beliau kepayahan. Setelah itu barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan malaikat, yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Para perawi hadis mengatakan, bahwa nabi saw. Kembali kerumah Khadijah dalam keadaan gemetar seraya mengatakan, “Selimutilah aku, selimutilah aku”. Kemudian mereka menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang. Setelah itu beliau menceritakan semuanya kepada Khadijah. Lalu beliau berkata, “Aku merasa khawatir terhadap diriku”. Khadijah menjawab, “Jangan, Bergembiralah! Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan membuatmu kecewa. Sesungguhnya engkau adalah orang yang menyambungkan silaturrahmi, benar dalam berkata, menanggung beban, gemar menyuguhi tamu dan gemar menolong orang yang tertimpa bencana”. [1]
Kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqh ibnu Naufal ibnu ‘Abdil-‘Uzza (anak paman Khadijah). Beliau adalah pemeluk agama Nasrani di zaman jahiliyah, pandai menulis Arab dan menguasai bahasa Ibrani, serta pernah menulis Injil dalam bahasa Arab dari bahasa aslinya, Ibrani. Beliau seorang yang sudah lanjut usia, dan buta kedua matanya. Khadijah berkata kepadanya, “Hai anak paman! Dengarkanlah apa yang dikatakan anak saudaramu ini”. Waraqah bertanya kepada nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang engkau saksikan?” Kemudian nabi Saw. Menceritakan apa yang dialaminya kepadanya. Waraqah berkata, “Malaikat Namus (Jibril) inilah yang pernah datang kepada Nabi Musa. Jika saja aku masih  kuat, dan jika saja aku masih hidup tatkala kaum-mu mengusirmu“. Rasulullah saw bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku? Waraqah menjawab “Ya. Tidak seorangpun datang membawa apa yang engkau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Jika aku masih hidup di masa itu, aku akan menolongmu sekuat tenaga”. Tetapi tidak lama kemudian ia wafat dan wahyu berhenti turun. Maka Rasulullah saw. Pun bersedih hati. Menurut berita yang sampai, kesedihan beliau di tandai dengan kepergian beliau di pagi hari untuk naik kepuncak gunung. Setelah sampai di puncaknya, dengan maksud menjatuhkan diri, Jibril pun datang dan berkata, ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya engkau itu benar-benar utusan Allah’ . Lalu Rasulullah saw. Pun kemali tenang dan pulang. Bila wahyu terlalu lama tidak turun , beliau pun akan melakukan hal yang sama. Yaitu pergi di pagi hari untuk melakukan hal serupa. (HR. Imam Ahmad, Bukhari, Muslim).[2]

MAKNA MUFRADAT

 اقْرَأء             :           bacalah
  بِسْم                :           dengan nama Tuhanmu
خَلَقَ               :         menciptakan
الْاِنْسَانَ             :           manusia
 عَلَقٍ              :         segumpal darah
 ا لْاَ كْرَ مُ          :           yang maha pemurah
اَلْقَلَمُ               :         pena

PENJELASAN
( اِقْرَأْ بِا سْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ )
Kata (اقْرَأْ ) terambil dari kata kerja ( قَرَأَ  ) yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila anda merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan rangkaian tersebut maka anda telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan demikian realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengan oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus ditemukan aneka ragam arti dari kata tersebut. Antara lain : menyampaikan, menelaan, membaca, mendalami, meneliti, mengaetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya, yang kesemuanya bermula dari arti menghimpun.[3]
Jadilah engkau orang yang bisa membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah menciptakanmu. Sebelum itu beliau tidak pandai membaca dan menulis. Kemudian datang perintah Ilahi agar beliau membaca, sekalipun tidak bisa menulis. Dan Allah menurunkan sebuah kitab kepadanya untuk dibaca, sekalipun ia tidak bisa menulisnya.
Kesimpulan: Sesungguhnya Zat yang menciptakan makhluk mampu membuatmu bisa membaca, sekalipun sebelum itu engkau tidak pernah belajar membaca.
Kemudian Allah menjelaskan proses kejadian makhluk melalui Firman-Nya:

( خَلَقَ الْاِ نسَا نَ مِنْ عَلَقٍ )
Sesungguhnya Zat yang menciptakan manusia, sehingga menjadi Makhluk-Nya yang paling mulia. Ia menciptakanya dari segumpal darah (‘Alaq). Kemudian membekalinya dengan kemampuan menguasai alam bumi, dan dengan ilmu pengetahuanya bisa mengolah bumi serta menguasai apa yang ada padanya untuk kepentingan umat manusia. Oleh sebab itu Zat yang menciptakan manusia, mampu menjadikan manusia yang paling sempurna, yaitu nabi saw. Bisa membaca, sekalipun beliau belum pernah  belajar membaca.
Kesimpulan: Sesungguhnya Zat yang menciptakan manusia dari segumpal darah, kemudian membekalinya dengan kemampuan berpikir, sehingga bisa menguasai  seluruh makhluk bumi, mampu pula menjdikan Muhammad saw. Bisa membaca, sekalipun beliau tidak pernah belajar membaca dan menulis.

( اِقْرَأْ )
Kerjakanlah apa yang Aku perintahkan, yaitu membaca.
Perintah ini diulang-ulang, sebab membaca tidak akan meresap kedalam jiwa, melainkan setelah berulang-ulang di biasakan. Berulang-ulangnya perintah Ilahi berpengertian sama dengan berulang-ulangnya membaca. Dengan demikian maka membaca itu merupakan bakat Nabi saw. Perhatikan firman Allah berikut ini:
سَنُقْرِ ئُكَ فَلَأ تَنْسَى
“ Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”. ( Al-A’la: 6)
Kemudian Allah menyingkirkan halangan yang dikemukakan oleh Muhammad saw. Kepada malaikat Jibril, yaitu tatkala malaikat berkata padanya, “Bacalah!” Kemudian Muhammad menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Artinya, saya ini buta huruf tidak bisa membaca dan menulis. Untuk itu Allah berfirman:

(وَرَبُّكَ الْا كْرَمُ )
Tuhanmu Maha Pemurah kepada orang yang memohon pemberian-Nya. Bagi-Nya amat mudah menganugerahkan kepandaian membaca kepada-mu berkat kemurahan-Nya.
Kemudian Allah menambahkan ketentraman hati nabi saw. Atas bakat yang baru ia miliki melalui Firman-Nya:

( اَلَّذِيْ عَلَّمَ بِا لْقَلَمِ )
Yang menjadikan pena sebagai sarana berkomunikasi antar sesama manusia, sekalipun letaknya saling berjauhan. Dan ia tak ubahnya lisan yang bicara. Qalam atau pena, adalah benda mati yang tidak bisa memberi pengertian. Oleh sebab itu Zat yang Menciptakan benda mati bisa menjadi alat komunikasi. Sesungguhnya tidak ada kesulitan bagi-Nya menjadikan dirimu (Muhammad) bisa membaca dan memberi penjelasan serta pengajaran. Apalagi engkau adalah manusia yang sempurna.
Di sini Allah menyatakan bahwa diri-Nyalah yang telah menciptakan manusia dari ‘Alaq, kemudian mengajari manusia dengan perantaraan . Demikian itu agar manusia menyadari bahwa dirinya diciptakan dari sesuatu yang paling hina , hingga ia mencapai kesempurnaan kemanusiaannya dengan pengetahuanya tentang hakekat segala sesuatu. Seolah-olah ayat ini mengatakan, “ Renungkanlah wahai manusia! Kelak engkau akan menjumpai dirimu telah berpindah dari tingkatan yang paling rendah dan hina, kepada tingkatan yang paling mulia. Demikian itu tentu ada kekuatan  yang mengaturnya dan kekuasaan yang menciptakan kesemuanya dengan baik”.
Kemudian Allah menambahkan Penjelasan-Nya dengan menyebutkan nikmat-nikmat-Nya kepada manusia melalui Firman-Nya:

( عَلَّمَ الْاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ )
Sesungguhnya Zat yang Memerintahkan rasul-Nya membaca Dia-lah yang mengerjakan berbagai ilmu yang dinikmati oleh umat manusia, sehingga manusia berbeda dari makhluk lainya. Pada mulanya manusia itu bodoh, ia tidak mengetahui apa-apa. Lalu apakah mengherankan jikaIa mengajarimu (Muhammad) membaca dan mengajarimu berbagai ilmu selain membaca, sedangkan engkau memiliki bakat untuk menerimanya?.
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukan tentang keutamaan membaca, menulis dan ilmu pengetahuan.
Sungguh jika tidak ada Qalam, maka anda tidak akan memahami berbagai ilmu pengetahuan, tidak akan bisa menghitung jumlah pasukan tentara, semua agama akan hilang, manusia tidak akan mengetahui kadar pengetahuan manusia terdahulu, penemuan-penemuan dan kebudayaan mereka. Dan jika tidak ada Qalam, maka sejarah orang-orang terdahulu tidak akan tercatat, dan ilmu pengetahuan mereka tidak akan bisa  dijadikan penyuluh bagi generasi berikutnya.
Dalam ayat ini terkandung pula bukti yang menunjukan bahwa Allah yang menciptakan manusia dalam keadaan hidup dan berbicara. Kemudian Allah mengajari manusia ilmu yang paling utama, yaituu menulis dan menganugerahkannya ilmu pengetahuan, sebelum itu ia tidak mengetahui apa pun juga. Sungguh mengherankan kelalaianmu wahai manusia!.[4]

KANDUNGAN HUKUM
1.      Agar dalam belajar mengajar untuk mendahuluinya dengan menyebut asma Allah.
2.      Untuk menguasai ilmu pengetahuan, hendaknya dalam membaca haruslah berulang-ulang agar mampu menyerap ilmu dengan sempurna.
3.      Berisi penjelasan tentang perintah membaca kepada Nabi Muhammad saw dalam arti seluas-luasnya. Yaitu membaca ayat-ayat yang tersurat dalam al-Quran dan ayat-ayat yang tersirat di jagat raya. Alhasil perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.[5] Penjelasan ini erat kaitannya dengan perintah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
4.      Berisi penjelasan tentang kekuasaan Allah, yaitu bahwasanya Ia berkuasa untuk menciptakan manusia. Uraian tentang kekuasaan Allah ini amat membantu dalam merumuskan tujuan pendidikan, yaitu agar manusia senantiasa menyadari dirinya sebagai ciptaan Allah yang harus patuh dan tunduk kepadanya.
5.      Berisi penjelasan tentang perlunya alat dalam melakukan kegiatan, seperti halnya kalam yang diperlukan bagi upaya pengembangan dan pemeliharaan ilmu pengetahuan.




B.     BELAJAR ILMU UMUM ( Al-Ghasyiyah: 17-20)

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾

TERJEMAHAN
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan kepada unta bagaimana ia diciptakan?
     18. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
     19. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
     20. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
                                                           
ASBABUN NUZUL
Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan perihal kedatangan hari Kiamat dan pembagian manusia pada hari itu menjadi dua golongan, yaitu orang-orang yang celaka dan orang-orang yang berbahagia. Mereka yang celaka memperoleh nasib yang amat hina dan nista. Akan halnya mereka yang berbahagia, mereka berada dalam puncak kebahagiaan. Hal ini tampak dari wajah-wajah mereka yang cerah ceria menendakan kebahagiaan. Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menegakkan hujjahatas orang-orang yang membangkang dan ingkar kepada hari kiamat. Dengan cara mengarahkan perhatian mereka kepada bukti-bukti kekuasaan-Nya yang ada di hadapan mereka dan dapat diindera dengan mata mereka, seperti langit yang menaungi mereka, bumi sebagai tempat berpijak mereka serta binatang unta yang bermanfaat bagi mereka baik dikala bepergian maupun berada ditempat. Atau memanfaatkannya dengan meminum susunya, memakan dagingnyaa, dan membuat pakaian dari kulitnya. Disamping itu gunung-gunungnya pun bias dimanfaatkan sebagai tanda yang bias membimbing mereka dikala bepergian mengarungi samudra sahara yang begitu luas.[6]
‘Abdu ibbnu Humaid meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya Akhirain, dari Qatadah yang telah mengatakan, bahwa tatkala Allah menggambarkan apa yang ada di dalam surga, orang-orang tersesat merasa aneh mendengarkan cerita ini. Oleh sebab itu Allah SWT menurunkan ayat-ayat ini.
Karena itu, Al-Qur’an mengarahkan perhatian orang-orang yang dibicarakannya untuk merenungkan penciptaan unta, yang ada didepan mereka. Unta yang tidak perlu didatangkannya dari negeri yang jauh dan tidak memerlukan pengetahuan  baru untuk mengetahuinya.[7]

MAKNA MUFRODAT
الْإِبِلِ           : unta-unta
رفع السمآء         : memgang atau meninggikan apa-apa yang ada diatas kita, seperti matahari, bulan, dan bintang.
نصب الجبال         : Gunung-gunung ditegakkan sebagai tanda bagi orang-orang yang bepergian dan patokan bagi orang yang tersesat.
سطح الارض       : Meratakan dan menghamparkan bumi sehingga bisa dihuni dan   bisa dipakai untuk berjalan diatasnya.

PENJELASAN
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾
Artinya :
Penggunaan kata (الى) kepada yang digandeng dengan kata (ينظرون)  melihat atau memperhatikan, untuk mendorong setiap orang melihat sampai batas akhir yang ditunjuk oleh kata (الى) itu dalam hal ini unta. Sehingga pandangan dan perhatian benar-benar menyeluruh, sempurna dan mantap agar dapat menarik darinya sebanyak mungkin bukti tentang kuasa allah dan kehebatan ciptaan-Nya.[8]
Al-Mawardi berkata tentang الْإِبِلِ, ada dua pengertian. Pertama,  الْإِبِلِ adalah binatang ternak (yakni unta). Kedua, awan. Jika yang dimaksud adalah awan, maka ini karena padanya terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan-Nya dan manfaat yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk. Jika yang dimaksud adalah unta, maka ini karena lebih banyak mendatangkan manfaat dari binatang-binatang lainnya.[9]
Jika mereka mau memikirkan perihal penciptaan unta tersebut, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa di dalam penciptaan unta terdapat suatu keajaiban yang tiada tara dan tidak terdapat dalam penciptaan binatang-binatang yang lain. Unta adalah binatang yang bertubuh besar, berkekuatan prima serta memiliki ketahanan yang tinggi dalam menanggung lapar dan dahaga, dan semua sifat ini tidak terdapat pada hewan yang lain. Unta sangat tahan dalam kerja berat, berjalan di terik matahari sahara tanpa berhenti dan menempuh perjalanan sepanjang ribuan kilometer, sehingga oleh karenanya binatang ini patut menyandang gelar istimewa sebagai Perahu Sahara.
Dan ciri khas yang lain dari unta adalah wataknya yang penurut, baik tehadap anak kecil maupun orang dewasa.
Ayat ini dipaparkan dalam bentuk kalimat istifham(bertanya) yang mengandung pengertian sanggahan terhadap keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran mereka kepada hari kebangkitan.

وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾   
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
Maksudnya, diangkat dari bumi tanpa tiang. Ada juga yang mengatakan bahwa dimaksudnya diangkat, hingga tidak ada sesuatupun yang dapat mencapainya. Bagaimana Allah meninggikan langit dari bumi, ini mrupakan peninggian yang sangat agung.[10]


 وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾
Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
Maksudnya, bagaimana gunung-gunung ditegakkan diatas bumi hingga tidak hancur.[11] Sebab ketika dihamparkan, bumi itu goncang, maka dikokohkan dengan gunung-gunung. Oleh karenanya mereka bisa mendakinyauntuk berekreasi kapan saja suka. Atau bagi para musafir bisa menjadikannya sebagai patokan dalam mengarungi gurun sahara yang luas. Dari gunung tersebut mengalir air yang mendatangkan manfaat bagi kehidupan tanaman dan sekalian binatang.

 وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Maksudnya, dibentangkan dan dihamparkan. Ia sangat cocok untuk kebutuhan para penghuninya. Mereka bisa memanfaatkan apa-apa yang ada di permukaan bumi dan apa-apa yang ada di perut bumi berupa aneka jenis tambang dan mineral yang memberi faedah bagi kehidupan mereka.

KANDUNGAN HUKUM
  1. Dalam sebuah pembelajaran, siswa harus diperkenalkan dahulu dengan lingkungan yang terdekat dan penting bagi mereka
  2. Pengetahuan dan penguasaan alam harus mengarah kepada keimanan
  3. Materi pendidikan yang sebenarnya adalah ayat-ayat Allah baik yang tersirat maupun yang tersurat.
  4. Allah memerintahkan kepada manusia agar mau belajar tentang semua ilmu yang ada di alam jagad raya dengan maksud agar manusia mau merenungkan dan memperhatikan apa yang telah diciptakan oleh Allah untuk makhluknya yang semuanya memberikan manfaat yang luar biasa.







DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1985. Tafsir Al-Maragi. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang
Quthb, Sayyid. 2001. Fi Zhilalil-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2001. Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
Al Qurthubi, Syaikh Imam. 2009. Al jami’ li Ahkaam Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Azam


[1] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1985), hlm. 344-345.
[2] Muhammad Nasib ar-Rafa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, (Jakarta: GEMA INSANI, 2001), hlm. 1012-1013.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 392-393.
[4]  Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1985), hlm. 346-349.

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 393.
[6] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1985), hlm. 242-243.

[7] Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm.258
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 233
[9] Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm.348
[10] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir,(Jakarta: Gema Insani, 2000),hlm.970.
 [11] Syaikh Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm.350.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar