KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen Pengampu: Mohammad Hasan Bisyri, M.Ag
Disusun Oleh:
1.
Wahyu Hidayat (2021213004)
2.
Uni Khomsiatun (2021213005)
3.
A. Bahrul Ulum (2021213006)
Kelas L Reguler Sore
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2014/2015
A.
PERINTAH MEMBACA DAN BELAJAR MENGAJAR (Al-‘Alaq:1-5)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اِقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَق (۱) خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ
عَلَقٍ (۲) اِقْرَأوَرَبُّكَ لْاَكْرَ مُ (۳) اَلَّذِيْ عَلَّمَ بِا لْقَلَمِ (٤)
عَلَّمَ
الْاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Terjemahan
Ayat:
(1)“
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan.
(2).
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
(3).
Bacalah dan Tuhan-mulah yang paling pemurah.
(4).
Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam.
(5).
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui-Nya”.
SEBAB
NUZUL
Disebutkan dalam hadis-hadis shahih, bahwa nabi saw, mendatangi gua
Hira’ (Hira adalah nama sebuah gunung di Makkah) untuk tujuan beribadah
beberapa hari. Kembali kepada isterinya Siti Khadijah untuk mengambil bekal
secukupnya. Hingga pada suatu hari di dalam gua beliau dikejutkan oleh
kedatangan malaikat membawa wahyu Ilahi. Malaikat bertanya kepadanya,
“Bacalah!” Beliau menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa
untuk kedua kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekanya hingga nabi
kepayahan, dan setelah itu dilepaskan. Malaikat berkata lagi kepadanya,
“Bacalah!” Nabi menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Perawi mengatakan, bahwa
untuk ketiga kalinya malaikat memegang nabi dan menekan-nekannya hingga beliau
kepayahan. Setelah itu barulah nabi mengucapkan apa yang diucapkan malaikat,
yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Para perawi hadis mengatakan, bahwa nabi saw. Kembali kerumah
Khadijah dalam keadaan gemetar seraya mengatakan, “Selimutilah aku, selimutilah
aku”. Kemudian mereka menyelimuti beliau hingga rasa takut beliau pun hilang.
Setelah itu beliau menceritakan semuanya kepada Khadijah. Lalu beliau berkata,
“Aku merasa khawatir terhadap diriku”. Khadijah menjawab, “Jangan, Bergembiralah!
Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan membuatmu kecewa. Sesungguhnya engkau
adalah orang yang menyambungkan silaturrahmi, benar dalam berkata, menanggung
beban, gemar menyuguhi tamu dan gemar menolong orang yang tertimpa bencana”. [1]
Kemudian Khadijah mengajak beliau menemui Waraqh ibnu Naufal ibnu
‘Abdil-‘Uzza (anak paman Khadijah). Beliau adalah pemeluk agama Nasrani di
zaman jahiliyah, pandai menulis Arab dan menguasai bahasa Ibrani, serta pernah
menulis Injil dalam bahasa Arab dari bahasa aslinya, Ibrani. Beliau seorang
yang sudah lanjut usia, dan buta kedua matanya. Khadijah berkata kepadanya, “Hai
anak paman! Dengarkanlah apa yang dikatakan anak saudaramu ini”. Waraqah
bertanya kepada nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang engkau saksikan?”
Kemudian nabi Saw. Menceritakan apa yang dialaminya kepadanya. Waraqah berkata,
“Malaikat Namus (Jibril) inilah yang pernah datang kepada Nabi Musa. Jika saja
aku masih kuat, dan jika saja aku masih
hidup tatkala kaum-mu mengusirmu“. Rasulullah saw bertanya, “Apakah mereka akan
mengusirku? Waraqah menjawab “Ya. Tidak seorangpun datang membawa apa yang
engkau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Jika aku masih hidup di masa itu, aku
akan menolongmu sekuat tenaga”. Tetapi tidak lama kemudian ia wafat dan wahyu
berhenti turun. Maka Rasulullah saw. Pun bersedih hati. Menurut berita yang
sampai, kesedihan beliau di tandai dengan kepergian beliau di pagi hari untuk
naik kepuncak gunung. Setelah sampai di puncaknya, dengan maksud menjatuhkan
diri, Jibril pun datang dan berkata, ‘Hai Muhammad! Sesungguhnya engkau itu
benar-benar utusan Allah’ . Lalu Rasulullah saw. Pun kemali tenang dan
pulang. Bila wahyu terlalu lama tidak turun , beliau pun akan melakukan hal
yang sama. Yaitu pergi di pagi hari untuk melakukan hal serupa. (HR. Imam
Ahmad, Bukhari, Muslim).[2]
MAKNA
MUFRADAT
اقْرَأء : bacalah
بِسْم : dengan nama Tuhanmu
خَلَقَ :
menciptakan
الْاِنْسَانَ : manusia
عَلَقٍ :
segumpal darah
ا لْاَ
كْرَ مُ
: yang maha
pemurah
اَلْقَلَمُ : pena
PENJELASAN
( اِقْرَأْ بِا سْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ )
Kata (اقْرَأْ ) terambil dari kata kerja ( قَرَأَ
) yang pada mulanya berarti
menghimpun. Apabila anda merangkai huruf atau kata kemudian anda mengucapkan
rangkaian tersebut maka anda telah menghimpunnya yakni membacanya. Dengan
demikian realisasi perintah tersebut tidak mengharuskan adanya
suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diucapkan sehingga
terdengan oleh orang lain. Karenanya, dalam kamus ditemukan aneka ragam arti
dari kata tersebut. Antara lain : menyampaikan, menelaan, membaca, mendalami,
meneliti, mengaetahui ciri-ciri sesuatu dan sebagainya, yang kesemuanya bermula
dari arti menghimpun.[3]
Jadilah
engkau orang yang bisa membaca berkat kekuasaan dan kehendak Allah yang telah
menciptakanmu. Sebelum itu beliau tidak pandai membaca dan menulis. Kemudian
datang perintah Ilahi agar beliau membaca, sekalipun tidak bisa menulis. Dan
Allah menurunkan sebuah kitab kepadanya untuk dibaca, sekalipun ia tidak bisa
menulisnya.
Kesimpulan:
Sesungguhnya Zat yang menciptakan makhluk mampu membuatmu bisa membaca,
sekalipun sebelum itu engkau tidak pernah belajar membaca.
Kemudian
Allah menjelaskan proses kejadian makhluk melalui Firman-Nya:
( خَلَقَ الْاِ نسَا نَ مِنْ عَلَقٍ )
Sesungguhnya
Zat yang menciptakan manusia, sehingga menjadi Makhluk-Nya yang paling mulia.
Ia menciptakanya dari segumpal darah (‘Alaq). Kemudian membekalinya dengan
kemampuan menguasai alam bumi, dan dengan ilmu pengetahuanya bisa mengolah bumi
serta menguasai apa yang ada padanya untuk kepentingan umat manusia. Oleh sebab
itu Zat yang menciptakan manusia, mampu menjadikan manusia yang paling
sempurna, yaitu nabi saw. Bisa membaca, sekalipun beliau belum pernah belajar membaca.
Kesimpulan:
Sesungguhnya Zat yang menciptakan manusia dari segumpal darah, kemudian
membekalinya dengan kemampuan berpikir, sehingga bisa menguasai seluruh makhluk bumi, mampu pula menjdikan
Muhammad saw. Bisa membaca, sekalipun beliau tidak pernah belajar membaca dan
menulis.
( اِقْرَأْ )
Kerjakanlah
apa yang Aku perintahkan, yaitu membaca.
Perintah
ini diulang-ulang, sebab membaca tidak akan meresap kedalam jiwa, melainkan
setelah berulang-ulang di biasakan. Berulang-ulangnya perintah Ilahi
berpengertian sama dengan berulang-ulangnya membaca. Dengan demikian maka
membaca itu merupakan bakat Nabi saw. Perhatikan firman Allah berikut ini:
سَنُقْرِ ئُكَ فَلَأ تَنْسَى
“ Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad) maka kamu tidak akan lupa”. ( Al-A’la: 6)
Kemudian
Allah menyingkirkan halangan yang dikemukakan oleh Muhammad saw. Kepada
malaikat Jibril, yaitu tatkala malaikat berkata padanya, “Bacalah!” Kemudian
Muhammad menjawab, “Saya tidak bisa membaca”. Artinya, saya ini buta huruf
tidak bisa membaca dan menulis. Untuk itu Allah berfirman:
(وَرَبُّكَ الْا كْرَمُ )
Tuhanmu
Maha Pemurah kepada orang yang memohon pemberian-Nya. Bagi-Nya amat mudah
menganugerahkan kepandaian membaca kepada-mu berkat kemurahan-Nya.
Kemudian
Allah menambahkan ketentraman hati nabi saw. Atas bakat yang baru ia miliki
melalui Firman-Nya:
( اَلَّذِيْ عَلَّمَ بِا لْقَلَمِ )
Yang
menjadikan pena sebagai sarana berkomunikasi antar sesama manusia, sekalipun
letaknya saling berjauhan. Dan ia tak ubahnya lisan yang bicara. Qalam
atau pena, adalah benda mati yang tidak bisa memberi pengertian. Oleh sebab itu
Zat yang Menciptakan benda mati bisa menjadi alat komunikasi. Sesungguhnya
tidak ada kesulitan bagi-Nya menjadikan dirimu (Muhammad) bisa membaca dan
memberi penjelasan serta pengajaran. Apalagi engkau adalah manusia yang
sempurna.
Di
sini Allah menyatakan bahwa diri-Nyalah yang telah menciptakan manusia dari ‘Alaq,
kemudian mengajari manusia dengan perantaraan . Demikian itu agar
manusia menyadari bahwa dirinya diciptakan dari sesuatu yang paling hina ,
hingga ia mencapai kesempurnaan kemanusiaannya dengan pengetahuanya tentang
hakekat segala sesuatu. Seolah-olah ayat ini mengatakan, “ Renungkanlah wahai
manusia! Kelak engkau akan menjumpai dirimu telah berpindah dari tingkatan yang
paling rendah dan hina, kepada tingkatan yang paling mulia. Demikian itu tentu
ada kekuatan yang mengaturnya dan
kekuasaan yang menciptakan kesemuanya dengan baik”.
Kemudian
Allah menambahkan Penjelasan-Nya dengan menyebutkan nikmat-nikmat-Nya kepada
manusia melalui Firman-Nya:
( عَلَّمَ الْاِ نْسَا نَ مَا لَمْ يَعْلَمْ )
Sesungguhnya
Zat yang Memerintahkan rasul-Nya membaca Dia-lah yang mengerjakan berbagai ilmu
yang dinikmati oleh umat manusia, sehingga manusia berbeda dari makhluk lainya.
Pada mulanya manusia itu bodoh, ia tidak mengetahui apa-apa. Lalu apakah
mengherankan jikaIa mengajarimu (Muhammad) membaca dan mengajarimu berbagai
ilmu selain membaca, sedangkan engkau memiliki bakat untuk menerimanya?.
Ayat
ini merupakan dalil yang menunjukan tentang keutamaan membaca, menulis dan ilmu
pengetahuan.
Sungguh
jika tidak ada Qalam, maka anda tidak akan memahami berbagai ilmu pengetahuan,
tidak akan bisa menghitung jumlah pasukan tentara, semua agama akan hilang,
manusia tidak akan mengetahui kadar pengetahuan manusia terdahulu,
penemuan-penemuan dan kebudayaan mereka. Dan jika tidak ada Qalam, maka sejarah
orang-orang terdahulu tidak akan tercatat, dan ilmu pengetahuan mereka tidak
akan bisa dijadikan penyuluh bagi
generasi berikutnya.
Dalam
ayat ini terkandung pula bukti yang menunjukan bahwa Allah yang menciptakan
manusia dalam keadaan hidup dan berbicara. Kemudian Allah mengajari manusia
ilmu yang paling utama, yaituu menulis dan menganugerahkannya ilmu pengetahuan,
sebelum itu ia tidak mengetahui apa pun juga. Sungguh mengherankan kelalaianmu
wahai manusia!.[4]
KANDUNGAN
HUKUM
1.
Agar
dalam belajar mengajar untuk mendahuluinya dengan menyebut asma Allah.
2.
Untuk
menguasai ilmu pengetahuan, hendaknya dalam membaca haruslah berulang-ulang
agar mampu menyerap ilmu dengan sempurna.
3.
Berisi penjelasan tentang perintah membaca kepada
Nabi Muhammad saw dalam arti seluas-luasnya. Yaitu membaca ayat-ayat yang
tersurat dalam al-Quran dan ayat-ayat yang tersirat di jagat raya. Alhasil perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya,
masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak.[5] Penjelasan ini erat kaitannya dengan perintah untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
4.
Berisi penjelasan tentang kekuasaan Allah, yaitu
bahwasanya Ia berkuasa untuk menciptakan manusia. Uraian tentang kekuasaan Allah ini amat membantu
dalam merumuskan tujuan pendidikan, yaitu agar manusia senantiasa menyadari
dirinya sebagai ciptaan Allah yang harus patuh dan tunduk kepadanya.
5.
Berisi penjelasan tentang perlunya alat dalam
melakukan kegiatan, seperti halnya kalam yang diperlukan bagi upaya
pengembangan dan pemeliharaan ilmu pengetahuan.
B.
BELAJAR ILMU UMUM ( Al-Ghasyiyah: 17-20)
أَفَلَا
يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاء كَيْفَ
رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ
سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾
TERJEMAHAN
17. Maka apakah mereka tidak memperhatikan kepada unta bagaimana ia
diciptakan?
18. Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan?
19. Dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan?
20. Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?
ASBABUN NUZUL
Pada
ayat sebelumnya Allah menjelaskan perihal kedatangan hari Kiamat dan pembagian
manusia pada hari itu menjadi dua golongan, yaitu orang-orang yang celaka dan
orang-orang yang berbahagia. Mereka yang celaka memperoleh nasib yang amat hina dan
nista. Akan halnya mereka yang berbahagia, mereka berada dalam puncak
kebahagiaan. Hal ini tampak dari wajah-wajah mereka yang cerah ceria menendakan
kebahagiaan. Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menegakkan hujjahatas orang-orang
yang membangkang dan ingkar kepada hari kiamat. Dengan cara mengarahkan
perhatian mereka kepada bukti-bukti kekuasaan-Nya yang ada di hadapan mereka
dan dapat diindera dengan mata mereka, seperti langit yang menaungi mereka,
bumi sebagai tempat berpijak mereka serta binatang unta yang bermanfaat bagi
mereka baik dikala bepergian maupun berada ditempat. Atau memanfaatkannya
dengan meminum susunya, memakan dagingnyaa, dan membuat pakaian dari kulitnya.
Disamping itu gunung-gunungnya pun bias dimanfaatkan sebagai tanda yang bias
membimbing mereka dikala bepergian mengarungi samudra sahara yang begitu luas.[6]
‘Abdu
ibbnu Humaid meriwayatkan sebuah hadis dalam kitabnya Akhirain, dari
Qatadah yang telah mengatakan, bahwa tatkala Allah menggambarkan apa yang ada
di dalam surga, orang-orang tersesat merasa aneh mendengarkan cerita ini. Oleh
sebab itu Allah SWT menurunkan ayat-ayat ini.
Karena
itu, Al-Qur’an mengarahkan perhatian orang-orang yang dibicarakannya untuk
merenungkan penciptaan unta, yang ada didepan mereka. Unta yang tidak perlu
didatangkannya dari negeri yang jauh dan tidak memerlukan pengetahuan baru untuk mengetahuinya.[7]
MAKNA MUFRODAT
الْإِبِلِ : unta-unta
رفع السمآء : memgang atau
meninggikan apa-apa yang ada diatas kita, seperti matahari, bulan, dan bintang.
نصب الجبال : Gunung-gunung ditegakkan sebagai tanda bagi orang-orang yang bepergian
dan patokan bagi orang yang tersesat.
سطح الارض : Meratakan dan menghamparkan bumi sehingga bisa dihuni dan bisa dipakai untuk berjalan diatasnya.
PENJELASAN
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
﴿١٧﴾
Artinya :
Penggunaan kata (الى) kepada yang
digandeng dengan kata (ينظرون) melihat atau memperhatikan, untuk mendorong
setiap orang melihat sampai batas akhir yang ditunjuk oleh kata (الى) itu
dalam hal ini unta. Sehingga pandangan dan perhatian benar-benar menyeluruh,
sempurna dan mantap agar dapat menarik darinya sebanyak mungkin bukti tentang
kuasa allah dan kehebatan ciptaan-Nya.[8]
Al-Mawardi berkata tentang الْإِبِلِ, ada dua pengertian. Pertama, الْإِبِلِ adalah binatang ternak (yakni unta). Kedua, awan. Jika yang dimaksud adalah
awan, maka ini karena padanya terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
kekuasaan-Nya dan manfaat yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk. Jika yang
dimaksud adalah unta, maka ini karena lebih banyak mendatangkan manfaat dari
binatang-binatang lainnya.[9]
Jika mereka mau memikirkan perihal
penciptaan unta tersebut, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa di dalam
penciptaan unta terdapat suatu keajaiban yang tiada tara dan tidak terdapat
dalam penciptaan binatang-binatang yang lain. Unta adalah binatang yang
bertubuh besar, berkekuatan prima serta memiliki ketahanan yang tinggi dalam
menanggung lapar dan dahaga, dan semua sifat ini tidak terdapat pada hewan yang
lain. Unta sangat tahan dalam kerja berat, berjalan di terik matahari sahara
tanpa berhenti dan menempuh perjalanan sepanjang ribuan kilometer, sehingga
oleh karenanya binatang ini patut menyandang gelar istimewa sebagai Perahu
Sahara.
Dan ciri khas yang lain dari unta
adalah wataknya yang penurut, baik tehadap anak kecil maupun orang dewasa.
Ayat ini dipaparkan dalam bentuk
kalimat istifham(bertanya) yang mengandung pengertian sanggahan terhadap
keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan celaan atas sikap
keingkaran mereka kepada hari kebangkitan.
وَإِلَى
السَّمَاء كَيْفَ رُفِعَتْ ﴿١٨﴾
Dan langit, bagaimana ia ditinggikan?
Maksudnya, diangkat dari bumi tanpa tiang. Ada juga yang mengatakan bahwa
dimaksudnya diangkat, hingga tidak ada sesuatupun yang dapat mencapainya.
Bagaimana Allah meninggikan langit dari bumi, ini mrupakan peninggian yang
sangat agung.[10]
وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾
Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?
Maksudnya, bagaimana gunung-gunung ditegakkan diatas
bumi hingga tidak hancur.[11] Sebab
ketika dihamparkan, bumi itu goncang, maka dikokohkan dengan gunung-gunung.
Oleh karenanya mereka bisa mendakinyauntuk berekreasi kapan saja suka. Atau
bagi para musafir bisa menjadikannya sebagai patokan dalam mengarungi gurun
sahara yang luas. Dari gunung tersebut mengalir air yang mendatangkan manfaat
bagi kehidupan tanaman dan sekalian binatang.
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾
Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
Maksudnya, dibentangkan dan dihamparkan. Ia sangat
cocok untuk kebutuhan para penghuninya. Mereka bisa memanfaatkan apa-apa yang
ada di permukaan bumi dan apa-apa yang ada di perut bumi berupa aneka jenis
tambang dan mineral yang memberi faedah bagi kehidupan mereka.
KANDUNGAN HUKUM
- Dalam sebuah pembelajaran, siswa harus diperkenalkan dahulu dengan lingkungan yang terdekat dan penting bagi mereka
- Pengetahuan dan penguasaan alam harus mengarah kepada keimanan
- Materi pendidikan yang sebenarnya adalah ayat-ayat Allah baik yang tersirat maupun yang tersurat.
- Allah memerintahkan kepada manusia agar mau belajar tentang semua ilmu yang ada di alam jagad raya dengan maksud agar manusia mau merenungkan dan memperhatikan apa yang telah diciptakan oleh Allah untuk makhluknya yang semuanya memberikan manfaat yang luar biasa.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta:
Lentera Hati
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1985. Tafsir Al-Maragi. Semarang:
PT. Karya Toha Putra Semarang
Quthb, Sayyid. 2001. Fi
Zhilalil-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 2001. Taisiru al-Aliyyul Qadir li
Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani
Al Qurthubi, Syaikh Imam. 2009. Al jami’ li Ahkaam Al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka Azam
[1] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang, 1985), hlm. 344-345.
[2] Muhammad
Nasib ar-Rafa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 4, (Jakarta: GEMA INSANI, 2001), hlm. 1012-1013.
[3] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm.
392-393.
[4] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi,
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1985), hlm. 346-349.
[5] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm.
393.
[6]
Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra Semarang, 1985), hlm. 242-243.
[7] Sayyid
Quthb, Tafsir fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),
hlm.258
[8] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm.
233
[9] Syaikh
Imam Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), hlm.348
[10]
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir,(Jakarta: Gema
Insani, 2000),hlm.970.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar